Selasa, 01 Mei 2018

SUPREMASI HUKUM PASCA 20 TAHUN REFORMASI


Oleh : Dionisius Shandy Tara















Foto Istimewa

Beberapa minggu lagi, tepat tanggal 21 Mei kita akan memperingati hari Reformasi. Banyak fenomena yang terjadi akibat dampak dari era Reformasi pasca menjelang 20 tahun. Reformasi menurut KBBI adalah perubahan terhadap sesuatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Keinginan masyarakat pada saat itu yang ingin merubah tatanan pemerinthan ke arah demokrasi dan kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) yang ingin dijunjung tinggi. Mahasiswa kemudian menyusun enam agenda reformasi yang bersifat tuntutan yaitu:  Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwifungsi ABRI, Otonomi daerah yang seluas-luasnya, Tegakan supremasi hukum dan Pemerintahan yang bersih dari KKN

SUPREMASI HUKUM

Supremasi adalah kata yang diadopsi dari bahasa Inggris yang berarti supreme ; derajat yang tinggi, jika diterjemahkan supremasi hukum adalah hukum yang berada diatas tatanan tertinggi.
Negara yang sudah menjunjung tinggi supremasi hukum adalah negara yang mampu menempatkan Hukum sebagai panglima tertinggi. Secara teoritis; supremasi hukum menurut (Muladi, 2000 : 6) adanya unsur-unsur yang mencakup:
a. )pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris);
b) mengutamakan kebenaran dan keadilan;
c) senantiasa melakukan promosi dan perlindungan HAM;
d) menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil;
e) hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik;
f) kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum;
g) kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up;
h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional;
i ) penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan preventif;
j) perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi
Jika kondisi-kondisi tersebut dapat diwujudkan maka supremasi hukum dapat dijalankan secara baik dan benar.
REALITA SUPREMASI HUKUM PASCA 20 TAHUN REFORMASI
Pada era orde baru supremasi hukum tidak dijalankan sama sekali , hukum berada di tangan penguasa sehingga apapun kehendak penguasa adalah final dan tidak dapat diganggu-gugat , banyak pelanggaran Ham yang terjadi pada masa orde baru dan tidak pernah ditindak secara hukum merupakan salah satu contoh kegagalan supremasi hukum era orde baru . Pada realita sekarang ini pasca reformasi hemat saya berpendapat bahwa supremasi hukum belum dijalankan secara baik. Adapun bentuk kegagalan supremasi hukum di era reformasi  
Pertama, Praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) semakin menjamur; Korupsi bukannya hilang malah tumbuh subur di rahim reformasi. Politik desentralisasi yang diharapkan dapat mensejahterakan rakyat justru menjadi lahan basa praktik korupsi.
Harus diakui, di era reformasi ini telah banyak dihasilkan perangkat undang-undang baru. Misalnya, ada Ketetapan MPR No. XI/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 20 Tahun 2001 (merubah UU NO. 31 Tahun 1999) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan berbagai UU lainnya. Selain itu, muncul pula lembaga pengawas baru seperti KPKPN maupun Komisi Ombudsman, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan.
Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) danprevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.
Data dari KPK Menunjukan Sepanjang 2004-2011, setidaknya 332 pejabat publik terjerat kasus korupsi dan kerugian yang diderita negara mencapai Rp 39,3 triliun Dan dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar. Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum dalam tuntutan reformasi yaitu KKN.
Kedua; penuntasan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia sampai sekarang ini masih jadi slogan kampanye presiden dari waktu ke waktu dan sampai sekarang era presiden jokowi pun belum menuai hasil ataupun nihil terkait penuntasan kasus HAM.
Era reformasi ternyata menyimpang banyak piluh di hati. Gelombang demonstrasi mei 1998, telah merenggut nyawa “sang demonstran”. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I dan II. Tragedi penembakan mahasiswa oleh militer yang belum juga diproses. Padahal Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikannya dan menyatakan kasus tersebut merupakan pelanggaran HAM Beratakan tetapi, berkasnya kemudian mental di tangan Mahkamah Agung. Kasus ini pun tidak jelas penuntasannya hingga sekarang.
Selain kasus semanggi dan Tri Sakti, masih ada kasus pelanggaran HAM yang belum tersentuh. Kasus pelanggaran diakhir masa Orde Baru, seperti kerusuhan mei 1998, dan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998.
Ketiga; Penuntasan kasus megakorupsi yang belum memperlihatkan titik terang sampai era Preiden jokowi saat ini. Kasus megakorupsi yang menyita banyak perhatian masyarakat Indonesia diantaranya kasus Century, kasus suap proyek wisma atlet, kasus hambalang, kasus rekening gendut perwira Polri, dan kasus mafia banggar. Penuntasan kasus megakorupsi ini, mengundang banyak tanda tanya. Apalagi megakorupsi yang sangat bersentuhan dengan penguasa (pemerintah) dan para petinggi Polri. ini yang membuat ketidak percayaan masyarakat terhadap hukum.
Survei terakhir yang dibuat oleh Lingakaran survei indonesia menegaskan kepercayaan mayarakat terhadap hukum ialah 29,8% berbanding terbalik dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yaitu 56% .
Keempat; UU yang dibuat merupakan representasi kepentingan penguasa , seperti yang kita tahu ada beberapa UU yang dibuat bukan merupakan kepentingan masyarakat melainkan kepentingan penguasa , sebut saja Revisi UU MD3,UU ITE ,Perppu Ormas Dll yang dalam isinya tidak substansial dan jelas-jelas merugikan masyarakat. Disini pemerintah tidak pernah berperan aktif mengkritisi UU ini mlainkan memilih apatis padahal jelas masyarakat sudah melakukan proses litigasi dan non litigasi melalui aksi dan uji materi UU.
Saya melihat kebijakan pemerintah masih bersifat parsial dan hanya menguntungkan beberapa pihak saja. Hukum masih memihak ke satu golongan penguasa dan golongan pemangku kebijakan. Ini yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah.

Tidak cukup penjara, tidak cukup polisi, dan tidak cukup pengadilan untuk menegakkan hukum bila tidak didukung oleh rakyat.

Hubert Humprey – Politikus USA 1911-1978

REFLEKSI DAN SOLUSI KONSTRUKTIF
Sebagai negara yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan (machstaat) (Lihat : Penjelasan UUD 1945) menghendaki agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu dan tidak diskriminatif. Di dalam bahasa hukum, hal tersebut sering disebut dengan istilah supremasi hukum, yaitu hukum ditempatkan pada posisi paling tinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan senantiasa menjadi tolok ukur dari setiap perbuatan.
Hukum hari ini di indonesia menuruh hemat saya belum menjadi panglima tertinggi melainkan hukum sebagai pengikut setia kekuasaan. Adapun refleksi terkait penegakan supremasi hukum menurut saya yang pertama; ialah tidak adanya Political will atau Political Action yang berarti pemimpin negara harus bersama-sama menjalankan hukum dan menjamin hak warga negara. Dari beberapa pengalaman beberapa presiden akhir-akhir ini memilih apatis terhadap penegakan hukum apalagi mengenai kasus KKN dan Bentrok antara institusi atau lembaga negara, seharusnya pemimpin yang bijak harus melakukan political action dan mengeuarkan kebijakan yang tegas tanpa intervensi dari pihak apapun. Kedua; adalah integritas kita dimana kita masyarakat indonesia harus benar-benar hidup berdasarkan hukum , banyak fenomena supremasi hukum dan integritas kita dimana kita melihat perbuatan ini salah tetapi masih saja melakukannya .
Masyarakat harus taat kepada hukum bukan melawan hukum demi kpentingan atau desakan apapun. Ingat segala sesuatu permasalahan pasti ada solusi, jangan coba-coba mengambil jalan potong dengan melalkukan perbuatan melawan hukum. Ketiga; adalah masyarakat harus terlibat aktif dalam pengawasan terhadap lembaga-lembaga penegak hukum serta ornamen-ornamennya, Masyarakat harus berani mengkritisi serta memberikan saran yang konstruktif terkait lemahnya penegakan supremasi hukum di indonesia serta problema-problema yang melanda.

KESIMPULAN
Hukum diciptakan untuk mengatur segala aktivitas manusia dan sebagai pedoman untuk menjalin hubungan dengan manusia yang lain dan juga sebagai control sosial yang berlaku kepada seluruh umat manusia demi terciptanya ketentraman dan keadilan bersama di dalam masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan penegakan supermasi hukum yang konsisten dengan memperhatikan hakikat hukum, struktur hokum dan budaya hokum dalam masyarakat. Dalam penegakan supremasi hukum di Indonesia, perlu adanya tatanan hukum yang baik guna menegakkan hukum demi keadilan dan kesetaraan di mata hukum sesuai dengan undang-undang. Yang melibatkan semua elemen seperti pemerintah, penegak hukum,  masyarakat dan mahasiswa.*(editor: Guntenda Halilintar)

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search